Sabtu, 24 Maret 2012

Pertimbangan Reformasi Birokrasi Terhadap Monoratorium dan Remunerasi Pegawai Negeri Sipil


Pertimbangan Reformasi Birokrasi Terhadap Monoratorium dan Remunerasi Pegawai Negeri Sipil

Kendati penggelapan uang, penyelewengan dana, dan apapun yang terkait dalam proses korupsi belakangan ini sulit untuk dikendalikan, namun nyatanya remunerasi terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) terus berlanjut ke seluruh instansi pemerintah yang tersebar diseluruh Indonesia. Pada dasarnya remunerasi adalah suatu hal yang wajar bahkan pemenuhannya merupakan suatu keharusan. Namun belakangan ini remunerasi menjadi bahan pertimbangan yang signifikan bagi pemerintah, pegawai negeri sipil terus bertambah. Ditambah lagi berkembangnya pegawai negeri sipil yang tidak taat hukum, salah satunya yaitu pegawai yang melakukan tindakan korupsi.
Dewasa ini nyatanya memang tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak ataupun oknum yang dilibatkan sekaligus ditugaskan untuk menjaring para koruptor. Koruptor terus bergerak bebas tanpa ada pengawasan langsung, setidaknya sebagai ultimatum kepada para koruptor untuk bersikap lebih defensif dalam aksinya.
Bukan tidak adanya regulasi yang telah ditetapkan dan diberlakukan oleh pemerintah, cukup banyak bahkan badan hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah berjalan dalam beberapa tahun ini. Badan Hukum yang sengaja dibentuk untuk mengendalikan serta sebisa mungkin mencegah tindakan korupsi.  
Namun lihat saja, pemimpin KPK, alih-alih mengawasi para koruptor, malah sebaliknya keberadaan pemimpin KPK yang diawasi oleh koruptor. Mungkin tidak asing lagi bagi kita, terkait berita tentang pemimpin KPK yang harus ditahan, bahkan mungkin sulit bagi sebagian orang untuk meyakini kesalahannya. Mungkin ini menjadi bukti bahwa keberadaan para pemimpin KPK berada pada kondisi yang cukup pelik.
  Banyak hal yang memacu laju pergerakan yang menjadi motivasi bagi sebagian masyarakat untuk melakukan korupsi. Lembaga Pemerintah memang sudah menjadi asumsi sebagian orang untuk sedikit atau banyak menjadi lokasi destinasi sebagai ladang untuk melakukan tindakan korupsi.
Koruptor umumnya lebih mudah beroperasi di instansi pemerintah dibandingkan instansi swasta. mungkin banyak faktor yang mendukung layaknya keberlangsungan/kontinuitas sumber daya materi (uang), minimnya pengawasan, ketidakpedulian antara masing-masing individu, mengingat kepimilikan instansi bukan dari individu melainkan pemerintah.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menuturkan, setidaknya membutuhkan dana sebesar Rp50 triliun jika implementasi program remunerasi merata di seluruh instansi pemerintah pusat. Dana ini dibutuhkan jika dilakukan pembayaran remunerasi secara penuh pada tiap instansi. Menteri PAN-RB Azwar Abubakar menjelaskan, terdapat sekira 70 kementerian dan lembaga (K/L) di pemerintah pusat. Pembayaran secara penuh diperkirakan mulai diterapkan tiga hingga empat tahun mendatang.
Penyelewengan dana yang terus bergulir menyita cukup banyak anggaran APBD negara. Sehingga pemerintah terus mengalami defisit anggaran. Bayangkan dana APBD yang telah dialokasikan untuk prioritas tertentu, diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini sempat mengubah pandangan pemerintah hingga diberlakukannya monoratorium terhadap  pegawai negeri sipil.  
 Adanya moratorium penerimaan Pegawa Negeri Sipil (PNS) dipandang tidak akan menghemat anggaran, pasalnya besarnya anggaran PNS bukan dari jumlah pegawainya melainkan ongkos pegawai atau belanja pegawai yang besar adalah penyebab defisitnya anggaran. Reformasi birokrasi ini sendiri pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Namun kenyataannya desain reformasi birokrasi  yang diberlakukan tidaklah kunjung memberikan titik terang, pertimbangan monoratorium yang diambil pemerintah mendapatkan banyak kritik, saran dan juga bantahan dari berbagai pengamat politik dan ekonomi, mereka cenderung memiliki pandangan masing-masing terhadap reformasi birokrasi yang digalangkan pemerintah sekarang ini, termasuk di dalamnya monoratorium pegawai negeri sipil yang juga mengundang kontroversi.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sekjen Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan dalam diskusi bersama komisi XI DPR RI, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (12/9/2011) Yuna menambahkan, belanja pegawai yang besar juga diiringi dengan tidak adanya dana pada Taspen dari 2009, sehingga tidak ada lagi biaya pensiun. "Dan biaya pensiun ini ikut naik kalau gaji pokok naik," tambahnya Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah harus memikirkan kebijakan untuk mengefisienkan struktur belanja pegawai ini, agar tidak terjadi defisit anggaran, bukannya malah melakukan moratorium yang dipandang kurang tepat dalam menghemat anggaran. "Ini yang harus diefiesien dari struktur belanja pegawai," kata Yuna. Lebih jauh dia mengatakan, belanja pegawai yang
terus naik ini disebabkan progran reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah tidak dipertimbangkan dengan matang, sehingga menurutnya belanja pegawai ini menjadi bom waktu yang seketika dapat meledak.
            "Desain birokrasi reformasi birokrasi anggarannya tidak dipertimbangkan, belanja pegawai sudah
jadi bom waktu, ini kan aneh, ongkos utang lebih besar dari pengerjaannya," imbuhnya Selain itu, remunerasi pegawai menurutnya juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan membengkaknya anggaran untuk pegawai, dan ini sebenarnya juga berdampak pada besarnya belanja pegawai. "Penyebab remunerasi dan kenaikan gaji pokok yang terus naik," pungkasnya.
Lika liku politik dan perekonomian negara kita memang selalu berada pada situasi yang kurang kondusif, masyarakat dan pemerintah selalu mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Masing-masing bergerak menuju titik sentrum dimana haknya terpenuhi, hingga tidak memperdulikan lagi kewajiban yang harus diambil. Mungkin hal inilah yang memacu keegoisan seseorang untuk memiliki sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki.
Jalan pintas memang menjadi pilihan untuk mendapatkan sesuatu yang instan dengan waktu yang singkat, namun jalan pintas pun tidak selalu menjadi jalan yang terbaik, mungkin restrukurisasi hukum kita belum terkoordinir dengan tepat dan rapi. Banyak jalan yang dapat ditempuh terkait upaya reformasi, mungkin kita tidak harus memulainya dari hal yang besar, cobalah dari hal yang kecil. Dari diri kita masing-masing misalnya, dari orang-orang terdekat kita.
Pemahaman seperti ini yang harus kita realisasikan di pemikiran segenap masyarakat Indonesia. Akan lebih baik apabila semua masyarakat hidup berkecukupan dan sejahtera. Daripada harus melihat 10 konglomerat yang dibanggakan atas kesuksesannya, namun jutaan orang dalam penderitaan ekonomi. Indonesia memang kerap kali mengalami defisit anggaran APBD, namun selalu ada cara dan waktu untuk memperbaikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar