Restrukturisasi
Jakarta dalam Mengendalikan Laju Populasi Penduduk Ibukota
Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang menjadi sorotan
kapasitas penduduk yang tidak terkendali, untuk beberapa pulau di Indonesia
layaknya Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Populasi penduduk diasumsikan sudah terdistribusi
secara merata. Namun coba kita lihat ke sebelah selatan Indonesia, kepulauan
Jawa. Dewasa ini peningkatan kapasitas penduduk di Jakarta pada khususnya,
telah menjadi polemik bagi masyarakat terutama pemerintah. Kapasitas yang tidak
terkendali bukan sekedar kajian fertilisasi semata. Namun sangat dipengaruhi oleh laju pergerakan
penduduk yang melesat tajam ke arah Ibukota.
Pertumbuhan penduduk di jakarta sangat mempengaruhi perumahan dan
pemukiman penduduk yang berdomisili. Ketersediaan lahan yang terus menipis,
sama sekali tidak mengurungkan niat penduduk rural untuk berurbanisasi ke pusat
kota. Kesulitan untuk mencari tingkat kehidupan layak, dan minimnya lapangan
pekerjaan merupakan motivasi penduduk untuk bergerak menuju daerah dengan
konsentrasi yang lebih padat, padahal hal itu akan memacu persaingan yang
semakin selektif. Permasalahan ini sering sekali berujung pada pengangguran dan kriminalitas.
Pusat kota yang seharusnya menjadi pusat konsentrasi pemerintahan,
kini harus jauh dari pandangan yang kondusif. Banyak hal yang bisa dilakukan
termasuk mengalihkan prioritas sektor kota ke arah barat, timur dan utara
Indonesia. Sejauh ini pemerintah
Jakarta mengendalikan pertumbuhan penduduk ibu kota dengan meningkatkan
pengawasan administrasi, penyuluhan keluarga berencana, dan transmigrasi.
Ketiga hal tersebut menjadi pokok masalah yang berkorelasi dan selalu berjalan
secara sinergi, seiring dengan terusnya ledakan penduduk di Jakarta.
Pengawasan administrasi ini dilakukan melalui diberlakukannya atau
restrukturisasi kartu identitas/tanda penduduk serta operasi yustisi. Penyuluhan
keluarga berencana didedikasikan kepada masyarakat yang berorientasi pada
keluarga produktif melalui pendekatan persuasif untuk menngendalikan kelahiran
bayi, agar terbentuk suatu kondisi dimana masyarakat mengedepankan kualitas
daripada kuantitas. Selanjutnya pengendalian transmigrasi yang terus meningkat, memacu
pemerintah untuk mereformasi sistem pembangunan dan sektor pemerintahan yang
baru, untuk meredam laju magnet ketertarikan masyarakat ke sentrum ibukota.
Tapi tau kah kita pergolakan penduduk di pusat kota bisa saja
dikendalikan. Dalam hal ini pembangunan dan teknokrat sipil kembali dibutuhkan
partisipasinya untuk merevitalisasi
pengembangan kawasan pemukiman vertikal. Dengan begitu suatu lahan yang kecil
dapat menampung sejumlah penduduk dalam kapasitas yang lebih besar. Tapi apa
yang terjadi di Jakarta, pertumbuhan sektor pembangunan layaknya apartemen,
kondomunium dan berbagai macam resort berkembang pesat dengan investasi yang
menjanjikan bagi kedua belah pihak baik investor dan penyedia. namun tetap saja
tidak berpengaruh sama sekali untuk memulihkan tingginya populasi
penduduk ibu kota. Mengapa demikian, jelas karena bangunan tersebut hanya
ditujukan kepada masyarakat kalangan menengah keatas.
Nah terlepas dari semua itu, darimanakah kita harus memulai? Menurut
pemahaman saya sebagai mahasiswi yang berorientasi pada pembangunan. Saya
mencoba untuk masuk ke dalam permasalahan ini, meskipun saya sama sekali bukan
objek ataupun subjek yang terlibat langsung akan dampak dari laju pertumbuhan
penduduk di Ibukota. Menurut pandangan saya, pengawasan administrasi, penyuluhan keluarga
berencana, pengendalian transmigrasi hingg revitalisasi sektor pembangunan
vertikal, semuanya sudah direalisasikan oleh pemerintah pusat. Tapi tak juga
kunjung berdampak signifikan dalam pengendaliannya.
Nah, bagaimana dengan restrukturisasi
beberapa sector penting yang menjamur di Jakarta, tidakkah kita
berpikir Jakarta dewasa ini menjadi pusat
berkumpulnya sektor pendidikan, sektor pemerintahan,
sektor industri. Tidakkah kita mengadopsi atau setidaknya menyadari bahwa negara maju
disekitar kita, tentang sistem pemerintahan dan sistem regional yang mereka
terapkan.
Coba kita lihat Jakarta sekarang, mengapa transmigrasi tidak bisa
dikendalikan. Jangan terlebih dahulu menyalahkan masyarakat, Ibu kota sudah pasti
menjadi asumsi bagi sebagian orang banyak sebagai tempat dengan target lapangan
kerja yang menjanjikan, terlepas dari persaingan yang berat. Namun bagaimana dengan pendidikan, Jakarta dipercaya dengan
menjamurnya perguruan tinggi ternama dan
notabene yang telah diakui oleh masyarakat domestik bahkan untuk masyarakat
asia. Tidak bisakah pemerintah mendisposisikan sektor pendidikan ke
berbagai wilayah lainnya di Indonesia?. Tentu saja bisa, bahkan jawabannya
bisa, andai saja kita sudah bergerak sejak dahulu.
Jika sekarang kita telah menganngap terlanjur untuk merestrukturisasi sistem
regional pendidikan yang sudah terlanjur tumbuh subur di pusat Ibu kota. Sungguh tidak
seutuhnya, bangunan perguruan tinggi bisa saja diubah fungsinya menjadi
bangunan yang masih dengan kepentingan pemerintah. Bayangkan apabila pergerakan sebagian besar masyarakat pelajar yang
berdifusi ke berbagai daerah di Indonesia. Sungguh hal ini cepat atau lambat
berperan dalam deselerasi laju meledaknya populasi penduduk ibukota.
Nah bagaimana dengan sektor industri dan ivestasi,
perkembangannya juga terlanjur meluas di kawasan Jakarta. Sektor Industri
mungkin berdampak baik bagi sebagian responden, tapi tidakkah kita menyadari
bahwa, sumber daya alam indonesia tidak hanya menumpuk di Jakarta, banyak
potensi yang belum dieksplorasikan khususnya di daerah barat, timur dan utara
Indonesia. Begitu juga dengan investasi,
investor Indonesia dan juga sebagian kecil investor asing terus bergerak menuju
ibukota, Jakarta layaknya menjadi substansi bagi pusat perdagangan, permainan
saham dan modal.
Dalam hal ini Pemerintah Indonesia diharapkan
bersikap lebih reseptif terhadap argumen dan aspirasi masyarakat pelajar dan
cendekiawan. Bahwa sudah saatnya untuk merestrukrurisasi sistem regional
terkait pendisposisian beberapa sektor penting di Jakarta. Sekilas kita
menganggap bahwa bergabungnya beberapa sektor di pusat ibukota, maka akan
meningkatkan perekenomian daerah, tapi nyatanya Jakarta terus bergerak regresif
dan kondisi perekonomiannya semakin melemah. Ibaratnya Jakarta saat ini telah
mengalami obesitas, layaknya orang yang mengalami oobesitas maka pergerakannya
akan semakin regresif sehingga kapasitas pencapaian semakin menurun.
bagus sekali isinya, bahasa terstruktur rapi
BalasHapuslanjutkan.. :P