Implementasi Pembangkit Listrik Mikro Hidro pada Daerah Surplus Sumber
Energi Potensial Air
Dewasa ini memang, peningkatan elektrifikasi
menjadi sorotan bagi masyarakat. Elektrifikasi ini sendiri bisa direalisasikan
oleh beberapa pembangkit listrik diantaranya PLTN, PLTA, PLTU, PLTS dll. Sumber energi apa saja bisa
dijadikan alternatif sekaligus komplementer untuk membangkitkan listrik,
tergantung dari ketersediaan sumber energi.
Untuk pembahasan terdahulu saya sudah sedikit
mengulas tentang PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), walaupun masih banyak persepsi masyarakat yang
mensinyalir bahwa PLTS memerlukan investasi awal yang tinggi, tapi menurut para
peneliti dewasa ini, PLTS tidaklah lagi memerlukan investasi yang tinggi. Ditambah lagi dengan biaya pengoperasian yang sangat murah. Maka PLTS dapat menjadi solusi
alternatif pembangkit listrik komplementer.
Hal yang mendorong saya untuk fokus pada
pembahasan pembangkit listrik adalah dimana beberapa waaktu ini, media kerap
menyinggung tentang akan adanya kenaikan TDL atau Tarif DasarLlistrik, hal ini pasti mengundang banyak tentangan dari
masyarakat konsumen listrik. Walaupun PLN dengan jelas menyatakan bahwa
pihaknya bersedia menerima denda hingga ratusan juta setiap kali adanya
pemadaman. Tapi apakah kita harus selamanya konsumtif terhadap listrik tanpa mengetahui tingkat keberlangsungan
sumber daya yang kita miliki.
Cobalah untuk merubah paradigma kita untuk menjadi masyarakat produktif listrik. Banyak cara untuk merealisasikan dan mengimplementasikannya. Salah satunya melalui pendekatan persuasif terhadap unsur-unsur fundamental listrik dan
ketersediaan energi di lokasi pemukiman masyarakat. Tentu kita harus juga
mengubah pandangan masyarakat yang konservatif terhadap teknologi khusunya
elektrifikasi. Pola pikir yang
seperti ini akan merealisasikan suatu keadaan dimana rasio tingkat
elektrifikasi Indonesia meningkat.
Berdasarkan ulasan ini, saya berharap bisa
menjadi pengetahuan bagi pembaca sekaligus masyarakat sebagai konsumen listrik
termasuk juga saya agar sedikit banyak membuka wawasan kita. Baiklah, Indonesia
terkenal dengan keindahan alam yang wajib seutuhnya kita syukuri, kekayaan
sumber daya alam Indonesia memang tidak perlu disangkal lagi, dengan tingkat
diversitas yang tinggi juga ketersediaan yang melimpah. Seharusnya kita menjadi negara
surplus energi, tapi kenyataannya Indonesia diakui mengalami defisit produksi
energi. Ini menjadi suatu alasan bahwa banyak yang bisa dikembangkan
oleh praktisi sipil pada khususnya juga didalamnya masyarakat untuk turut ikut
serta dalam pengembangan dan peningkatan sumber daya alam yang ada agar dioptimalkan demi kesejahteraan masyarakat.
Sadarkah kita selama ini Indonesia yang dikenal dengan keindahan alamnya,
ternyata bisa dinikmati lebih dari sekedar visual saja,
tapi sadarkah kita keindahan alam, seperti gunung, bukit, air terjun, lereng dapat menjadi komponen energi Pembangkit Listrik
Tenaga Air yang bersifat
saling koheren. Korelasi antara bentuk permukaan bumi dan ketersediaan energi
seringkali bekerja secara sinergi. Keduanya berkolaborasi membentuk suatu
energi yang dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan hidup orang banyak. Tidak
terkecuali listrik.
Nah pada minggu yang lalu, bertepatan
dengan mata kuliah BTA atau Bangunan
Tenaga Air, salah satu dosen kami membahas tentang Pembangkit Listrik Tenaga
Air termasuk didalamnya Pembangkit Listrik Mikro Hidro. Pembahasan ini cukup
menarik pehatian saya, sehingga membuat saya ingin mencari tahu tentang seluk
beluk pembangkit listrik bertenaga air.
Pada dasarnya saya sangat suka
menulis, namun memang saya harus membaca referensi terlebih dahulu kemudian
menarik kesimpulan dari beragam macam referensi untuk kemudian menjadi sebuah
narasi. Awalnya saya hanya mengenal Pembangkit Listrik Tenaga Air, namun sekarang
banyak sekali penamaan terbaru terkait pembangkit listrik jenis ini. PLTA yang
kita kenal dulu kini telah berkembang menjadi PLTMH Pembangkit Listrik Tenaga
Mikro Hidro). Pengembangan ini didasari oleh sekelompok insinyur yang prihatin dengan
masyarakat di negara miskin yang belum memperoleh layanan listrik, padahal di
sekitar mereka tersedia sumber energi potensial air yang berlimpah.
Para insinyur yang peduli terhadap masalah ini umumnya bergabung dalam
sebuah lembaga non-pemerintah (NGO) yang bertujuan memberikan bantuan teknis.
Salah satu pendekatan teknis yang dilakukan adalah penggunaan sistem run-off
river yang tidak membutuhkan dam tinggi. Dengan demikian persyaratan teknis
yang harus dipenuhi tidak akan setinggi dan serinci pada persyaratan PLTA
dengan bendungan besar. Namun PLTMH ini sendiri masih mengasumsi prinsip kerja
PLTA dimana mula-mula potensi tenaga air dikonversikan menjadi tenaga mekanik
dalam turbin air. Kemudian turbin air tersebut memutar generator yang
membangkitkan listrik. Turbin air sebagai alat pengubah energi potensial air
menjadi energi torsi atau putar dapat dimanfaatkan sebagai penggerak generator,
pompa dan peralatan lain.
Sistem run-off river hanya membutuhkan weir untuk mengalihkan air
sungai, sebagai penyadap menuju saluran pembawa. Dengan demikian tidak
dibutuhkan survey geologi yang mendalam seperti survey geolistrik dengan biaya
mahal. Demikian juga kontruksi weir dengan ketinggian kurang dari 2 meter tidak
membutuhkan desainer dam khusus dan pekerjaan konstruksi dam dapat dilakukan
oleh tukang bangunan setempat. Dengan kapasitas pembangkit yang kecil, maka
persyaratan mekanik turbin, instalasi listrik, kontroler, dan aspek teknik
lainnya akan lebih sederhana dan tidak perlu setinggi persyaratan pada PLTA
skala besar.
Dalam perjalanan sejarahnya, PLTMH memperoleh popularitas sebagai sistem
pembangkitan listrik tenaga air yang tepat guna (appropriate technology)
dan ramah lingkungan. Banyak kelompok yang menentang pembangunan PLTA, dan
mereka lebih menganjurkan menggunakan PLTMH. Dukungan mereka terhadap PLTMH
dengan alasan PLTMH tidak menggunakan dam tinggi sehingga resiko bencana lebih
kecil, tidak membutuhkan genangan yang luas sehingga tidak
menimbulkan dampak lingkungan yag merugikan, dapat dioperasikan dan dipelihara lebih
mudah sehingga masyarakat lokal dapat membangun, mengelola, dan
memanfaatkan sumber daya air untuk kesejahteraan penduduk setempat. Jadi
mengapa harus PLTMH, jawabannya adalah:
1.
Energi yang tersedia
tidak akan habis selagi siklus dapat kita jaga dengan baik, seperti daerah
tangkapan atau catchment area, vegetasi sungai dan sebagainya.
2.
Proses yang dilakukan mudah dan murah, harga
turbin, generator, panel kontrol, hingga
pembangunan sipilnya kira-kira Rp 5 juta per KW (kondisional).
3.
Tidak menimbulkan polutan yang berbahaya.
4.
Dapat diproduksi di Indonesia, sehingga jika
terjadi kerusakan tidak akan sulit untuk mendapatkan sparepart-nya.
5.
Mengurangi tingkat
konsumsi energi fosil, langkah ini akan berperan dalam mengendalikan laju harga
minyak di pasar internasional.
Atas alasan ini jelas bahwa PLTMH layak untuk
dipertimbangkan implementasinya di Indonesia sebagai Pembangkit Listrik yang
ramah lingkungan, juga tidak menghabiskan komponen materi melainkan hanya
memanfaatkan energinya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar