Rabu, 29 Februari 2012


Implementasi Pembangkit Listrik Mikro Hidro pada Daerah Surplus Sumber Energi Potensial Air

Dewasa ini memang, peningkatan elektrifikasi menjadi sorotan bagi masyarakat. Elektrifikasi ini sendiri bisa direalisasikan oleh beberapa pembangkit listrik diantaranya PLTN, PLTA, PLTU, PLTS dll. Sumber energi apa saja bisa dijadikan alternatif sekaligus komplementer untuk membangkitkan listrik, tergantung dari ketersediaan sumber energi.

Untuk pembahasan terdahulu saya sudah sedikit mengulas tentang PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), walaupun masih banyak persepsi masyarakat yang mensinyalir bahwa PLTS memerlukan investasi awal yang tinggi, tapi menurut para peneliti dewasa ini, PLTS tidaklah lagi memerlukan investasi yang tinggi. Ditambah lagi dengan biaya pengoperasian yang sangat murah. Maka PLTS dapat menjadi solusi alternatif pembangkit listrik komplementer.

Hal yang mendorong saya untuk fokus pada pembahasan pembangkit listrik adalah dimana beberapa waaktu ini, media kerap menyinggung tentang akan adanya kenaikan TDL atau Tarif DasarLlistrik, hal ini pasti mengundang banyak tentangan dari masyarakat konsumen listrik. Walaupun PLN dengan jelas menyatakan bahwa pihaknya bersedia menerima denda hingga ratusan juta setiap kali adanya pemadaman. Tapi apakah kita harus selamanya konsumtif terhadap listrik tanpa mengetahui tingkat keberlangsungan sumber daya yang kita miliki.

Cobalah untuk merubah paradigma kita untuk menjadi masyarakat produktif listrik. Banyak cara untuk merealisasikan dan mengimplementasikannya. Salah satunya melalui pendekatan persuasif  terhadap unsur-unsur fundamental listrik dan ketersediaan energi di lokasi pemukiman masyarakat. Tentu kita harus juga mengubah pandangan masyarakat yang konservatif terhadap teknologi khusunya elektrifikasi. Pola pikir yang seperti ini akan merealisasikan suatu keadaan dimana rasio tingkat elektrifikasi Indonesia meningkat.

Berdasarkan ulasan ini, saya berharap bisa menjadi pengetahuan bagi pembaca sekaligus masyarakat sebagai konsumen listrik termasuk juga saya agar sedikit banyak membuka wawasan kita. Baiklah, Indonesia terkenal dengan keindahan alam yang wajib seutuhnya kita syukuri, kekayaan sumber daya alam Indonesia memang tidak perlu disangkal lagi, dengan tingkat diversitas yang tinggi juga ketersediaan yang melimpah. Seharusnya kita menjadi negara surplus energi, tapi kenyataannya Indonesia diakui mengalami defisit produksi energi.  Ini menjadi suatu alasan bahwa banyak yang bisa dikembangkan oleh praktisi sipil pada khususnya juga didalamnya masyarakat untuk turut ikut serta dalam pengembangan dan peningkatan sumber daya alam yang ada agar dioptimalkan demi kesejahteraan masyarakat.

Sadarkah kita selama ini Indonesia yang dikenal dengan keindahan alamnya, ternyata bisa dinikmati lebih dari sekedar visual saja, tapi sadarkah kita keindahan alam, seperti gunung, bukit, air terjun, lereng dapat menjadi komponen energi Pembangkit Listrik Tenaga Air yang bersifat saling koheren. Korelasi antara bentuk permukaan bumi dan ketersediaan energi seringkali bekerja secara sinergi. Keduanya berkolaborasi membentuk suatu energi yang dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan hidup orang banyak. Tidak terkecuali listrik.

Nah pada minggu yang lalu, bertepatan dengan  mata kuliah BTA atau Bangunan Tenaga Air, salah satu dosen kami membahas tentang Pembangkit Listrik Tenaga Air termasuk didalamnya Pembangkit Listrik Mikro Hidro. Pembahasan ini cukup menarik pehatian saya, sehingga membuat saya ingin mencari tahu tentang seluk beluk pembangkit listrik bertenaga air.

Pada dasarnya saya sangat suka menulis, namun memang saya harus membaca referensi terlebih dahulu kemudian menarik kesimpulan dari beragam macam referensi untuk kemudian menjadi sebuah narasi. Awalnya saya hanya mengenal Pembangkit Listrik Tenaga Air, namun sekarang banyak sekali penamaan terbaru terkait pembangkit listrik jenis ini. PLTA yang kita kenal dulu kini telah berkembang menjadi PLTMH Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Pengembangan ini didasari oleh sekelompok insinyur yang prihatin dengan masyarakat di negara miskin yang belum memperoleh layanan listrik, padahal di sekitar mereka tersedia sumber energi potensial air yang berlimpah.
Para insinyur yang peduli terhadap masalah ini umumnya bergabung dalam sebuah lembaga non-pemerintah (NGO) yang bertujuan memberikan bantuan teknis. Salah satu pendekatan teknis yang dilakukan adalah penggunaan sistem run-off river yang tidak membutuhkan dam tinggi. Dengan demikian persyaratan teknis yang harus dipenuhi tidak akan setinggi dan serinci pada persyaratan PLTA dengan bendungan besar. Namun PLTMH ini sendiri masih mengasumsi prinsip kerja PLTA dimana mula-mula potensi tenaga air dikonversikan menjadi tenaga mekanik dalam turbin air. Kemudian turbin air tersebut memutar generator yang membangkitkan listrik. Turbin air sebagai alat pengubah energi potensial air menjadi energi torsi atau putar dapat dimanfaatkan sebagai penggerak generator, pompa dan peralatan lain.  
Sistem run-off river hanya membutuhkan weir untuk mengalihkan air sungai, sebagai penyadap menuju saluran pembawa. Dengan demikian tidak dibutuhkan survey geologi yang mendalam seperti survey geolistrik dengan biaya mahal. Demikian juga kontruksi weir dengan ketinggian kurang dari 2 meter tidak membutuhkan desainer dam khusus dan pekerjaan konstruksi dam dapat dilakukan oleh tukang bangunan setempat. Dengan kapasitas pembangkit yang kecil, maka persyaratan mekanik turbin, instalasi listrik, kontroler, dan aspek teknik lainnya akan lebih sederhana dan tidak perlu setinggi persyaratan pada PLTA skala besar.
Dalam perjalanan sejarahnya, PLTMH memperoleh popularitas sebagai sistem pembangkitan listrik tenaga air yang tepat guna (appropriate technology) dan ramah lingkungan. Banyak kelompok yang menentang pembangunan PLTA, dan mereka lebih menganjurkan menggunakan PLTMH. Dukungan mereka terhadap PLTMH dengan alasan PLTMH tidak menggunakan dam tinggi sehingga resiko bencana lebih kecil, tidak membutuhkan genangan yang luas sehingga tidak menimbulkan dampak lingkungan yag merugikan, dapat dioperasikan dan dipelihara lebih mudah sehingga masyarakat lokal dapat membangun, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya air untuk kesejahteraan penduduk setempat. Jadi mengapa harus PLTMH, jawabannya adalah:
1.      Energi yang tersedia tidak akan habis selagi siklus dapat kita jaga dengan baik, seperti daerah tangkapan atau catchment area, vegetasi sungai dan sebagainya.
2.       Proses yang dilakukan mudah dan murah, harga turbin, generator, panel kontrol, hingga  pembangunan sipilnya kira-kira Rp 5 juta per KW (kondisional).
3.       Tidak menimbulkan polutan yang berbahaya.
4.       Dapat diproduksi di Indonesia, sehingga jika terjadi kerusakan tidak akan sulit untuk mendapatkan sparepart-nya.
5.      Mengurangi tingkat konsumsi energi fosil, langkah ini akan berperan dalam mengendalikan laju harga minyak di pasar internasional. 
Atas alasan ini jelas bahwa PLTMH layak untuk dipertimbangkan implementasinya di Indonesia sebagai Pembangkit Listrik yang ramah lingkungan, juga tidak menghabiskan komponen materi melainkan hanya memanfaatkan energinya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar