Sabtu, 31 Maret 2012

Ekspektasi Indonesia Sebagai Negara Agraris Terhadap Kedaulatan Pangan Nasional


Ekspektasi Indonesia Sebagai Negara Agraris Terhadap Kedaulatan Pangan Nasional

Meski dijuluki sebagai negara agraris, namun hingga kini Indonesia masih kesulitan untuk mencapai kedaulatan pangan. Situasi pangan Indonesia masih rawan karena pasokan yang ada hanya bisa pas-pasan mengimbangi pertambahan penduduk. Padahal, sebagai negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, risikonya terlalu besar apabila hanya puas dengan keadaan pangan yang sekarang ini. Kalau kita puas dengan keadaan pangan yang pas-pasan, itu berarti kita akan selalu dihantui oleh kerawanan pangan, kerawanan ekonomi, dan social.
Krisis pangan ini ditandai dengan banyaknya produk pertanian yang masih mengandalkan produk luar negeri. Padahal sebagai negara agraris dengan kekayaan alamnya, seharusnya dapat mendukung pencapaian swasembada segala produksi pertanian. Hingga saat ini  Indonesia masih mengimpor beberapa komoditi. Padahal seharusnya negara harus didukung dengan persediaan atau ketahanan pangan yang stabil.
Kendala utama yang dihadapi dalam membangun kemandirian pangan Indonesia adalah meningkatkan produksi padi untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk dan berkurangnya areal lahan sawah. Padi termasuk komoditas strategis dan makanan pokok di Indonesia. Untuk itu Pemerintah, Akademisi dan Praktisi lintas sektoral sudah sewajarnya melakukan usaha-usaha bersama untuk mengatasi kebutuhan pangan Nasional dan berkontribusi dalam mengatasi ancaman Krisis Pangan dunia.
Persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya yang jumlahnya terus bertambah setiap tahun. Pertumbuhan produksi beras selama 10 tahun belakangan ini hanya sekitar 1,0 persen per tahun, di bawah pertumbuhan penduduk yang besarnya rata-rata 1,6 persen per tahun.
            Kini Indonesia tercatat sebagai importir beras terbesar di dunia dan menjadi importir gula kedua terbesar di dunia. Jika kita tidak menemukan cara untuk meningkatkan produksi pangan, maka Indonesia sebagai bangsa yang merdeka tidak memiliki kedaulatan untuk menyediakan pangan secara mandiri bagi warganya, sebab kebutuhan dasar yang satu ini amat tergantung bangsa lain. Eksploitasi negara maju akan kian nyata merubuhkan kedaulatan kita sebagai bangsa sebab keunggulan sumber daya pertanian kita tak cukup sakti untuk menjadikan negeri ini berdaulat di bidang pangan.
Setiap tanggal 16 Oktober, seluruh dunia memperingati Hari Pangan Sedunia, yang untuk tahun ini ditetapkan tema  ”Food Prices from Crisis to Stability”, sementara di tingkat nasional ditetapkan tema “Menjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan Nasional”. Tema-tema itu akan menjadi slogan kosong belaka apabila Indonesia tidak bergegas mengatasi ironi di negara yang mengklaim sebagai negeri agraris ini. Betapa tidak, Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber agraria yang melimpah. Hal ini pulalah yang menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia terlibat dalam dunia pertanian. Sekitar 46 persen penduduk Indonesia adalah petani. Namun ironisnya, sebagai negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi saat ini Indonesia bukan saja tidak mampu berswasembada pangan, tetapi sebaliknya justru mengalami krisis pangan. Malah sebagian kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor, yang harganya naik tak terkendali. 
Oleh karena itu sebagai penyempurnaan, untuk tidak mengatakan sebagai pengganti, kebijakan ketahanan pangan perlu dikembangkan dan diterapkan kebijakan kedaulatan pangan. Secara konseptual, kedaulatan pangan berarti hak setiap negara atau masyarakat untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya, melindungi sistem produksi pertanian dan perdagangan untuk mencapai sistem pertanian yang berkelanjutan dan mandiri.
Kedaulatan pangan mengatur produksi dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar global. Kedaulatan pangan mencakup hak untuk memproteksi dan mengatur kebijakan pertanian nasional dan melindungi pasar domestik dari dumping dan kelebihan produksi negara lain yang dijual sangat murah. Oleh karena itu, petani kecil dan buruh tani harus diberikan akses terhadap tanah, air, benih, dan sumber-sumber agraria lainnya.
Dengan demikian, kedaulatan pangan harus didahulukan di atas kepentingan pasar. Sungguhpun demikian, kebijakan kedaulatan pangan tidak melarang perdagangan, tetapi menekankan bahwa produksi pangan harus diprioritaskan  untuk mencukupi kebutuhan pangan sendiri dan keluarga, yang diproduksi secara organik, berkelanjutan dan aman. Selain itu, kebijakan kedaulatan pangan juga menekankan input dan pemasaran hasil pertanian adalah melalui organisasi-organisasi tani atau koperasi tani sehingga tidak tergantung dari industri.
Secara lebih konkret, ada tujuh prinsip utama untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah: (1) pembaruan agraria, (2) adanya hak akses rakyat terhadap pangan, (3) penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan, (4) pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan, (5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi, (6) melarang penggunaan pangan sebagai senjata, (7) pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
 Salah satu fokus yang mempengaruhi rasio produksi pangan adalah mekanisme pembaruan agraria di petak sawah yang akan ditanami tanaman padi. Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai ketergantungan besar terhadap kuantitas air. Sehingga diperlukannya suatu perlakuan untuk mendistribusikan air hingga sampai ke petak sawah terendah yang akan dialiri. Didalamnya termasuk sistem jaringan irigasi dan bangunan air. Indonesia memiiki dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, sawah-sawah mulai mengering dan kekurangan air. Bahkan pada kondisi yang ekstrim, sawah tidak terdapat air. Namun, pada kondisi musim penghujan, justru sawah tergenang oleh air.
 Oleh karena itu, diperlukan adanya perencanaan irigasi yang baik dan benar sesuai dengan standar-standar yang berlaku guna mengatasi dua kondisi diatas. Irigasi dapat didefinisikan sebagai upaya manusia untuk: mengambil air dari sumber, mengalirkannya ke dalam saluran, membagikan ke petak sawah, memberikan air pada tanaman, dan membuang kelebihan air ke jaringan pembuang/drainase, sehingga kebutuhan air di sawah dapat terpenuhi sesuai kebutuhan.
 Perencaan irigasi diatas tidak terlepas oleh pengambilan air pada sumbernya. Dalam tugas ini sumber yang dimaksud adalah sungai. Oleh karena itu diperlukan bangunan-bangunan utama dan pelengkap guna menaikkan , membelokkan dan mengalirkan air pada tujuannya. Banguan utama ialah semua bangunan yang direncanakan di dan di sepanjang sungai atau aliran air untuk membelokkan air ke dalam jaringan irigasi, biasanya dilengkapi dengan kantng lumpur agar bisa mengurangi kandungan sedimen yang berlebihan serta memungkinkan untuk mengukur air yang masuk.
            Perlu diketahui bahwa pembaruan agraria atau perlakuan terhadap petak sawah, yang diantaranya pembangunan jaringan irigasi yang sistemik, bangunan utama serta bangunan pelengkap lainnya hanyalah salah satu alternatif yang bisa dijadikan fokus untuk meningkatkan komoditas pertanian Indonesia. Akan tetapi masih banyak faktor yang mempengaruhi dan butuh perhatian khusus dari tiap” akademisi di bidangnya untuk peninjauan dan implementasi lebih lanjut. 

Sabtu, 24 Maret 2012

Pertimbangan Reformasi Birokrasi Terhadap Monoratorium dan Remunerasi Pegawai Negeri Sipil


Pertimbangan Reformasi Birokrasi Terhadap Monoratorium dan Remunerasi Pegawai Negeri Sipil

Kendati penggelapan uang, penyelewengan dana, dan apapun yang terkait dalam proses korupsi belakangan ini sulit untuk dikendalikan, namun nyatanya remunerasi terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) terus berlanjut ke seluruh instansi pemerintah yang tersebar diseluruh Indonesia. Pada dasarnya remunerasi adalah suatu hal yang wajar bahkan pemenuhannya merupakan suatu keharusan. Namun belakangan ini remunerasi menjadi bahan pertimbangan yang signifikan bagi pemerintah, pegawai negeri sipil terus bertambah. Ditambah lagi berkembangnya pegawai negeri sipil yang tidak taat hukum, salah satunya yaitu pegawai yang melakukan tindakan korupsi.
Dewasa ini nyatanya memang tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak ataupun oknum yang dilibatkan sekaligus ditugaskan untuk menjaring para koruptor. Koruptor terus bergerak bebas tanpa ada pengawasan langsung, setidaknya sebagai ultimatum kepada para koruptor untuk bersikap lebih defensif dalam aksinya.
Bukan tidak adanya regulasi yang telah ditetapkan dan diberlakukan oleh pemerintah, cukup banyak bahkan badan hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah berjalan dalam beberapa tahun ini. Badan Hukum yang sengaja dibentuk untuk mengendalikan serta sebisa mungkin mencegah tindakan korupsi.  
Namun lihat saja, pemimpin KPK, alih-alih mengawasi para koruptor, malah sebaliknya keberadaan pemimpin KPK yang diawasi oleh koruptor. Mungkin tidak asing lagi bagi kita, terkait berita tentang pemimpin KPK yang harus ditahan, bahkan mungkin sulit bagi sebagian orang untuk meyakini kesalahannya. Mungkin ini menjadi bukti bahwa keberadaan para pemimpin KPK berada pada kondisi yang cukup pelik.
  Banyak hal yang memacu laju pergerakan yang menjadi motivasi bagi sebagian masyarakat untuk melakukan korupsi. Lembaga Pemerintah memang sudah menjadi asumsi sebagian orang untuk sedikit atau banyak menjadi lokasi destinasi sebagai ladang untuk melakukan tindakan korupsi.
Koruptor umumnya lebih mudah beroperasi di instansi pemerintah dibandingkan instansi swasta. mungkin banyak faktor yang mendukung layaknya keberlangsungan/kontinuitas sumber daya materi (uang), minimnya pengawasan, ketidakpedulian antara masing-masing individu, mengingat kepimilikan instansi bukan dari individu melainkan pemerintah.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menuturkan, setidaknya membutuhkan dana sebesar Rp50 triliun jika implementasi program remunerasi merata di seluruh instansi pemerintah pusat. Dana ini dibutuhkan jika dilakukan pembayaran remunerasi secara penuh pada tiap instansi. Menteri PAN-RB Azwar Abubakar menjelaskan, terdapat sekira 70 kementerian dan lembaga (K/L) di pemerintah pusat. Pembayaran secara penuh diperkirakan mulai diterapkan tiga hingga empat tahun mendatang.
Penyelewengan dana yang terus bergulir menyita cukup banyak anggaran APBD negara. Sehingga pemerintah terus mengalami defisit anggaran. Bayangkan dana APBD yang telah dialokasikan untuk prioritas tertentu, diselewengkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal ini sempat mengubah pandangan pemerintah hingga diberlakukannya monoratorium terhadap  pegawai negeri sipil.  
 Adanya moratorium penerimaan Pegawa Negeri Sipil (PNS) dipandang tidak akan menghemat anggaran, pasalnya besarnya anggaran PNS bukan dari jumlah pegawainya melainkan ongkos pegawai atau belanja pegawai yang besar adalah penyebab defisitnya anggaran. Reformasi birokrasi ini sendiri pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Namun kenyataannya desain reformasi birokrasi  yang diberlakukan tidaklah kunjung memberikan titik terang, pertimbangan monoratorium yang diambil pemerintah mendapatkan banyak kritik, saran dan juga bantahan dari berbagai pengamat politik dan ekonomi, mereka cenderung memiliki pandangan masing-masing terhadap reformasi birokrasi yang digalangkan pemerintah sekarang ini, termasuk di dalamnya monoratorium pegawai negeri sipil yang juga mengundang kontroversi.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sekjen Forum Indonesia
untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan dalam diskusi bersama komisi XI DPR RI, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (12/9/2011) Yuna menambahkan, belanja pegawai yang besar juga diiringi dengan tidak adanya dana pada Taspen dari 2009, sehingga tidak ada lagi biaya pensiun. "Dan biaya pensiun ini ikut naik kalau gaji pokok naik," tambahnya Oleh karena itu, sambungnya, pemerintah harus memikirkan kebijakan untuk mengefisienkan struktur belanja pegawai ini, agar tidak terjadi defisit anggaran, bukannya malah melakukan moratorium yang dipandang kurang tepat dalam menghemat anggaran. "Ini yang harus diefiesien dari struktur belanja pegawai," kata Yuna. Lebih jauh dia mengatakan, belanja pegawai yang
terus naik ini disebabkan progran reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah tidak dipertimbangkan dengan matang, sehingga menurutnya belanja pegawai ini menjadi bom waktu yang seketika dapat meledak.
            "Desain birokrasi reformasi birokrasi anggarannya tidak dipertimbangkan, belanja pegawai sudah
jadi bom waktu, ini kan aneh, ongkos utang lebih besar dari pengerjaannya," imbuhnya Selain itu, remunerasi pegawai menurutnya juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan membengkaknya anggaran untuk pegawai, dan ini sebenarnya juga berdampak pada besarnya belanja pegawai. "Penyebab remunerasi dan kenaikan gaji pokok yang terus naik," pungkasnya.
Lika liku politik dan perekonomian negara kita memang selalu berada pada situasi yang kurang kondusif, masyarakat dan pemerintah selalu mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Masing-masing bergerak menuju titik sentrum dimana haknya terpenuhi, hingga tidak memperdulikan lagi kewajiban yang harus diambil. Mungkin hal inilah yang memacu keegoisan seseorang untuk memiliki sesuatu yang tidak seharusnya dimiliki.
Jalan pintas memang menjadi pilihan untuk mendapatkan sesuatu yang instan dengan waktu yang singkat, namun jalan pintas pun tidak selalu menjadi jalan yang terbaik, mungkin restrukurisasi hukum kita belum terkoordinir dengan tepat dan rapi. Banyak jalan yang dapat ditempuh terkait upaya reformasi, mungkin kita tidak harus memulainya dari hal yang besar, cobalah dari hal yang kecil. Dari diri kita masing-masing misalnya, dari orang-orang terdekat kita.
Pemahaman seperti ini yang harus kita realisasikan di pemikiran segenap masyarakat Indonesia. Akan lebih baik apabila semua masyarakat hidup berkecukupan dan sejahtera. Daripada harus melihat 10 konglomerat yang dibanggakan atas kesuksesannya, namun jutaan orang dalam penderitaan ekonomi. Indonesia memang kerap kali mengalami defisit anggaran APBD, namun selalu ada cara dan waktu untuk memperbaikinya.

Kunjungan Lapangan (Field Trip) ke Lokasi Pembangunan Waduk Rajui, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidi, Provinsi Aceh


Kunjungan Lapangan (Field Trip) ke Lokasi Pembangunan Waduk Rajui, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidi, Provinsi Aceh

Sabtu pagi tepatnya pada tanggal 9 Maret 2012 saya mengikuti kunjungan lapangan bersama teman-teman seangkatan 2009 ke daerah-daerah terkait lokasi pembangunan waduk, bendung dan bendungan, baik yang masih dalam tahap kontruksi maupun yang telah beroperasi. Kunjungan ini diharapkan dapat membuka wawasan bagi para mahasiswa dan mahasiswi yang mengambil mata kuliah yang berkenaan dengan bidang hidroteknik yaitu bangunan air dan irigasi serta pelabuhan.
Field Trip begitulah sapaan bagi kunjungan lapangan yang kami lakukan tiap tahunnya. Kali ini kami melakukan kunjungan ke 3 daerah yaitu Rajui, Keumala, dan Tiro. Meskipun perjalanan ini bukanlah perjalanan yang memakan waktu yang singkat bahkan menguras banyak energi, tapi tetap saja banyak hal yang kita lihat dan pelajari.
Nah perjalanan dimulai sekitar pukul 8.00 am dengan menggunakan empat bus DAMRI. Lokasi yang menjadi destinasi pertama kami adalah Pembangunan Waduk Rajui di Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidi, Provinsi Aceh. Dari hasil peninjauan ini, selain mendokumentasikan beberapa objek yang diperlukan. Kami juga menemui salah satu narasumber yang terlibat lansung dalam pembangunan waduk ini. Beliau menuturkan banyak hal, termasuk data-data serta ulasan mengenai proses berlangsungnya pembangunan.
Sebelum berbicara banyak tentang Waduk Rajui, perlu kita ketrahui definisi dari waduk itu sendiri. Waduk/bendungan adalah bangunan penampung air yang ditempatkan pada suatu cekungan pada suatu daerah yang mempunyai sumber air yang terbatas atau tidak tersedianya air secara kontinyu sepanjang tahun.  Bangunan ini diharapkan dapat menampung kelebihan air dimusim hujan sehingga dapat dimanfaatkan pada musim kering.  Dengan perencanaan yang tepat terhadap penempatan tubuh bendungan, desain struktur serta hidrolis, perencanaan pola tanam dan operasional diharapkan tampungan air tersebut dapat menjamin tersedianya air sepanjang tahun baik untuk irigasi maupun air baku untuk air minum dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Kabupaten Pidie di Provinsi Aceh merupakan wilayah yang mempunyai potensi pengembangan areal pertanian dan peningkatan status dari areal pertanian tadah hujan menjadi areal yang beririgasi teknis terutama untuk tanaman padi.  Potensi tersebut dapat dikembangkan dengan tersedianya prasarana sumber daya air yang memadai, hal ini dapat dilakukan dengan  cara  membangun prasarana baru atau meningkatkan & memelihara prasarana yang sudah ada.  Pembangunan waduk/bendungan adalah salah satu cara untuk menyediakan prasarana irigasi tersebut.
            Dewasa ini memang telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah Pidie maupun pusat untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan juga kontinuitas sektor pertanian Pidie. Salah satu proyek yang sedang dalam tahap kontruksi adalah Pembangunan Waduk Rajui. Lokasi waduk terletak di desa Mesjid Tanjong, kecamatan Padang Tijie Kabupaten Pidie, yang berjarak 92 km  ke arah timur dari kota Banda Aceh atau 6 km dari pusat kecamatan Padang tijie atau  17 km kearah utara dari kota Sigli ibukota Kabupaten Pidie dengan jalan masuk dari jalan negara lebih kurang 3 km. Ditinjau dari posisi geografis Lokasi Waduk Rajui terletak pada kooedinat 95.49'09" -95.50'09" BT dan 05.23'39" LU.
            Daerah ini memang diperkirakan merupakan lokasi yang tepat untuk dibangunnya waduk atau bendungan, mengingat Waduk Rajui ini sendiri nantinya akan menerima sumbangan air sebagai tampungan atau storage yang berasal dari presipitasi air hujan efektif dan juga sumbangan air dari Krueng Rajui. Nah ini yang medorong rasa penasaranku lebih dalam, dimana kita mengetahui tentu pembangunan suatu waduk atau bendungan pastinya membutuhkan data perencanaan yang detail. Banyak hal yang dipertimbangkan layaknya data curah hujan, data durasi penyinaran matahari, data evapotranspirasi, dan data laju peresapan air tanah serta data lainnya yang menunjang operasi dari waduk itu sendiri.
            Untuk itu sebelum kita observasi lebih dalam, mari kita lihat dulu data hidroklimatologi lokasi pembangunan Waduk Rajui. Curah hujan rerata bulanan adalah 116 mm, rata-rata curah hujan tahunan wilayah 1.132 mm. Menurut Bada Meteorologi dan Geofisika Blang Bintang, daerah waduk termasuk dalam tipe iklim C (Schemidt Ferguson) dengan nilai Q = 0,5429.  Dari hasil pencatatan suhu dan kelembaban udara stasiun terdekat menyebutkan bahwa kelembaban rata-rata 76,4 % atau dengan kisaran 60% - 86%.  Penyinaran matahari berkisar antara 42% - 72% dengan lama penyinaran 3,4 - 6 jam/hari.      
Waduk seluas 33 hektar tersebut diharapkan mampu mengairi 1.000 hektar lebih areal sawah di Padang Tiji dan sekitarnya dengan pola tanam pada umumnya yaitu padi-padi-palawija. Berdasarkan penuturan narasumber, Pembangunan waduk Rajui menelan biaya sekitar Rp135 Miliar yang bersumber dari dana APBN 2010 yang dikerjakan dengan pola multiyears diperkirakan akan rampung pada tahun 2012. Kehadiran waduk tersebut diharapkan bisa menjawab kebutuhan air para petani.
Total tampungan debit air di Waduk Rajui mencapai 2,6 Juta meterkubik, dengan luas genangan 33,6 hektar, sekaligus sebagai penyedia air baku untuk wilayah Padang Tiji dan sekitarnya. Pembanguna waduk ini sendiri terdiri dari empat bangunan inti yaitu tubuh bendungan, pelimpah atau spillway, bangunan sadap dan pengelak, dan bangunan pengarah aliran.
Tubuh bendungan direncanakan type urugan homogen, dengan koefisien permeabilitas bahan timbunan (k) = 3,445 x 10-6 cm/dt, dengan kedalaman pondasi tubuh bendungan rata-rata 10 m. Tinggi Bendungan (H) :  41,20, Elevasi muka tanah asli derah genangan : + 30,20, Elevasi Tampungan Mati (LWL) : + 33,00, Elevasi Tampungan Efektif (NWL) :  + 57,50 m, Elevasi Muka Air Banjir (HWL) : + 58,99 m, Elevasi Puncak Tubuh Bendung : + 61,20 m.
Bangunan pelimpah terletak pada tumpuan kanan bendungan dengan karakteristik hidrolis pada ujung hilir saluran peluncur mempunyai Kecepatan (V) = 21,65 m/dt, Bilangan Froude (Fr) = 6,30 dan debit per satuan lebar  (q) = 7,30. Type Pelimpah adalah Pelimpah Bebas Type Ogee dengan kelebaran pelimpah yaitu 10 m. Pelimpah ini sendiri telah direncanakan dengan adanya kolam olakan dengan panjang 15 m dan lebar m untuk meredam energi air yang ditimbulkan oleh potensial elevasi.
Bangunan Sadap dan Pengelak menjadi satu yang berbentuk terowongan penyalur (Outlet Channel) dengan konstruksi beton bertulang, dimana nantinya akan dimanfaatkan untuk 1.000 ha sawah dan pemanfaatan untuk air baku dengan rencana debit pengambilan (Q) = 2,08 m3/dt. Bangunan sadap yang berupa terowongan ini akan dibangun dengan panjang terowongan 155 m dan diameter 1,75 m. Sedangkan bangunan pengelak ini sendiri akan dibangun dengan diameter yang sama dengan bangunan sadap namun dengan panjang terowongan 25 m.
Bangunan aliran diperlukan mengingat tampungan Waduk Rajui juga akan berasal dari input Krueng Rajui, sehingga diperlukan bangunan yang dapat mengalihkan aliran dari Krueng Rajui untuk mengisi tampungan Waduk Rajui.
Demikianlah sekilas ulasan tentang Bendungan Rajui yang masih belum rampung pembangunannya, semoga Waduk Rajui ini bisa beroperasi sesuai dengan ekspektasi dan perencanaannya yaitu meningkatkan produksi pertanian dan menciptakan lapangan kerja di kecamatan Padang Tiji dan memenuhi penyediaan air baku untuk air minum dan kebutuhan rumah tangga lainnya.

Minggu, 04 Maret 2012

Restrukturisasi Jakarta dalam Mengendalikan Laju Populasi Penduduk Ibukota


Restrukturisasi Jakarta dalam Mengendalikan Laju Populasi Penduduk Ibukota

Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang menjadi sorotan kapasitas penduduk yang tidak terkendali, untuk beberapa pulau di Indonesia layaknya Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Populasi penduduk diasumsikan sudah terdistribusi secara merata. Namun coba kita lihat ke sebelah selatan Indonesia, kepulauan Jawa. Dewasa ini peningkatan kapasitas penduduk di Jakarta pada khususnya, telah menjadi polemik bagi masyarakat terutama pemerintah. Kapasitas yang tidak terkendali bukan sekedar kajian fertilisasi semata. Namun sangat dipengaruhi oleh laju pergerakan penduduk yang melesat tajam ke arah Ibukota.

Pertumbuhan penduduk di jakarta sangat mempengaruhi perumahan dan pemukiman penduduk yang berdomisili. Ketersediaan lahan yang terus menipis, sama sekali tidak mengurungkan niat penduduk rural untuk berurbanisasi ke pusat kota. Kesulitan untuk mencari tingkat kehidupan layak, dan minimnya lapangan pekerjaan merupakan motivasi penduduk untuk bergerak menuju daerah dengan konsentrasi yang lebih padat, padahal hal itu akan memacu persaingan yang semakin selektif. Permasalahan ini sering sekali berujung pada pengangguran dan kriminalitas.

 Pusat kota yang seharusnya menjadi pusat konsentrasi pemerintahan, kini harus jauh dari pandangan yang kondusif. Banyak hal yang bisa dilakukan termasuk mengalihkan prioritas sektor kota ke arah barat, timur dan utara Indonesia.  Sejauh ini pemerintah Jakarta mengendalikan pertumbuhan penduduk ibu kota dengan meningkatkan pengawasan administrasi, penyuluhan keluarga berencana, dan transmigrasi. Ketiga hal tersebut menjadi pokok masalah yang berkorelasi dan selalu berjalan secara sinergi, seiring dengan terusnya ledakan penduduk di Jakarta.

Pengawasan administrasi ini dilakukan melalui diberlakukannya atau restrukturisasi kartu identitas/tanda penduduk serta operasi yustisi. Penyuluhan keluarga berencana didedikasikan kepada masyarakat yang berorientasi pada keluarga produktif melalui pendekatan persuasif untuk menngendalikan kelahiran bayi, agar terbentuk suatu kondisi dimana masyarakat mengedepankan kualitas daripada kuantitas. Selanjutnya pengendalian transmigrasi yang terus meningkat, memacu pemerintah untuk mereformasi sistem pembangunan dan sektor pemerintahan yang baru, untuk meredam laju magnet ketertarikan masyarakat ke sentrum ibukota.

Tapi tau kah kita pergolakan penduduk di pusat kota bisa saja dikendalikan. Dalam hal ini pembangunan dan teknokrat sipil kembali dibutuhkan partisipasinya untuk  merevitalisasi pengembangan kawasan pemukiman vertikal. Dengan begitu suatu lahan yang kecil dapat menampung sejumlah penduduk dalam kapasitas yang lebih besar. Tapi apa yang terjadi di Jakarta, pertumbuhan sektor pembangunan layaknya apartemen, kondomunium dan berbagai macam resort berkembang pesat dengan investasi yang menjanjikan bagi kedua belah pihak baik investor dan penyedia. namun tetap saja tidak berpengaruh sama sekali untuk memulihkan tingginya populasi penduduk ibu kota. Mengapa demikian, jelas karena bangunan tersebut hanya ditujukan kepada masyarakat kalangan menengah keatas.



Nah terlepas dari semua itu, darimanakah kita harus memulai? Menurut pemahaman saya sebagai mahasiswi yang berorientasi pada pembangunan. Saya mencoba untuk masuk ke dalam permasalahan ini, meskipun saya sama sekali bukan objek ataupun subjek yang terlibat langsung akan dampak dari laju pertumbuhan penduduk di Ibukota. Menurut pandangan saya, pengawasan administrasi, penyuluhan keluarga berencana, pengendalian transmigrasi hingg revitalisasi sektor pembangunan vertikal, semuanya sudah direalisasikan oleh pemerintah pusat. Tapi tak juga kunjung berdampak signifikan dalam pengendaliannya.

Nah, bagaimana dengan restrukturisasi beberapa sector penting yang menjamur di Jakarta, tidakkah kita berpikir Jakarta dewasa ini menjadi pusat berkumpulnya sektor pendidikan, sektor pemerintahan, sektor industri. Tidakkah kita mengadopsi atau setidaknya menyadari bahwa negara maju disekitar kita, tentang sistem pemerintahan dan sistem regional yang mereka terapkan.

Coba kita lihat Jakarta sekarang, mengapa transmigrasi tidak bisa dikendalikan. Jangan terlebih dahulu menyalahkan masyarakat, Ibu kota sudah pasti menjadi asumsi bagi sebagian orang banyak sebagai tempat dengan target lapangan kerja yang menjanjikan, terlepas dari persaingan yang berat.  Namun bagaimana dengan pendidikan, Jakarta dipercaya dengan menjamurnya  perguruan tinggi ternama dan notabene yang telah diakui oleh masyarakat domestik bahkan untuk masyarakat asia. Tidak bisakah pemerintah mendisposisikan sektor pendidikan ke berbagai wilayah lainnya di Indonesia?. Tentu saja bisa, bahkan jawabannya bisa, andai saja kita sudah bergerak sejak dahulu.

Jika sekarang kita telah menganngap terlanjur untuk merestrukturisasi sistem regional pendidikan yang sudah terlanjur tumbuh subur di pusat Ibu kota. Sungguh tidak seutuhnya, bangunan perguruan tinggi bisa saja diubah fungsinya menjadi bangunan yang masih dengan kepentingan pemerintah. Bayangkan apabila pergerakan sebagian besar masyarakat pelajar yang berdifusi ke berbagai daerah di Indonesia. Sungguh hal ini cepat atau lambat berperan dalam deselerasi laju meledaknya populasi penduduk ibukota.

Nah bagaimana dengan sektor industri dan ivestasi, perkembangannya juga terlanjur meluas di kawasan Jakarta. Sektor Industri mungkin berdampak baik bagi sebagian responden, tapi tidakkah kita menyadari bahwa, sumber daya alam indonesia tidak hanya menumpuk di Jakarta, banyak potensi yang belum dieksplorasikan khususnya di daerah barat, timur dan utara Indonesia.  Begitu juga dengan investasi, investor Indonesia dan juga sebagian kecil investor asing terus bergerak menuju ibukota, Jakarta layaknya menjadi substansi bagi pusat perdagangan, permainan saham dan modal.

Dalam hal ini Pemerintah Indonesia diharapkan bersikap lebih reseptif terhadap argumen dan aspirasi masyarakat pelajar dan cendekiawan. Bahwa sudah saatnya untuk merestrukrurisasi sistem regional terkait pendisposisian beberapa sektor penting di Jakarta. Sekilas kita menganggap bahwa bergabungnya beberapa sektor di pusat ibukota, maka akan meningkatkan perekenomian daerah, tapi nyatanya Jakarta terus bergerak regresif dan kondisi perekonomiannya semakin melemah. Ibaratnya Jakarta saat ini telah mengalami obesitas, layaknya orang yang mengalami oobesitas maka pergerakannya akan semakin regresif sehingga kapasitas pencapaian semakin menurun.

Rabu, 29 Februari 2012


Implementasi Pembangkit Listrik Mikro Hidro pada Daerah Surplus Sumber Energi Potensial Air

Dewasa ini memang, peningkatan elektrifikasi menjadi sorotan bagi masyarakat. Elektrifikasi ini sendiri bisa direalisasikan oleh beberapa pembangkit listrik diantaranya PLTN, PLTA, PLTU, PLTS dll. Sumber energi apa saja bisa dijadikan alternatif sekaligus komplementer untuk membangkitkan listrik, tergantung dari ketersediaan sumber energi.

Untuk pembahasan terdahulu saya sudah sedikit mengulas tentang PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), walaupun masih banyak persepsi masyarakat yang mensinyalir bahwa PLTS memerlukan investasi awal yang tinggi, tapi menurut para peneliti dewasa ini, PLTS tidaklah lagi memerlukan investasi yang tinggi. Ditambah lagi dengan biaya pengoperasian yang sangat murah. Maka PLTS dapat menjadi solusi alternatif pembangkit listrik komplementer.

Hal yang mendorong saya untuk fokus pada pembahasan pembangkit listrik adalah dimana beberapa waaktu ini, media kerap menyinggung tentang akan adanya kenaikan TDL atau Tarif DasarLlistrik, hal ini pasti mengundang banyak tentangan dari masyarakat konsumen listrik. Walaupun PLN dengan jelas menyatakan bahwa pihaknya bersedia menerima denda hingga ratusan juta setiap kali adanya pemadaman. Tapi apakah kita harus selamanya konsumtif terhadap listrik tanpa mengetahui tingkat keberlangsungan sumber daya yang kita miliki.

Cobalah untuk merubah paradigma kita untuk menjadi masyarakat produktif listrik. Banyak cara untuk merealisasikan dan mengimplementasikannya. Salah satunya melalui pendekatan persuasif  terhadap unsur-unsur fundamental listrik dan ketersediaan energi di lokasi pemukiman masyarakat. Tentu kita harus juga mengubah pandangan masyarakat yang konservatif terhadap teknologi khusunya elektrifikasi. Pola pikir yang seperti ini akan merealisasikan suatu keadaan dimana rasio tingkat elektrifikasi Indonesia meningkat.

Berdasarkan ulasan ini, saya berharap bisa menjadi pengetahuan bagi pembaca sekaligus masyarakat sebagai konsumen listrik termasuk juga saya agar sedikit banyak membuka wawasan kita. Baiklah, Indonesia terkenal dengan keindahan alam yang wajib seutuhnya kita syukuri, kekayaan sumber daya alam Indonesia memang tidak perlu disangkal lagi, dengan tingkat diversitas yang tinggi juga ketersediaan yang melimpah. Seharusnya kita menjadi negara surplus energi, tapi kenyataannya Indonesia diakui mengalami defisit produksi energi.  Ini menjadi suatu alasan bahwa banyak yang bisa dikembangkan oleh praktisi sipil pada khususnya juga didalamnya masyarakat untuk turut ikut serta dalam pengembangan dan peningkatan sumber daya alam yang ada agar dioptimalkan demi kesejahteraan masyarakat.

Sadarkah kita selama ini Indonesia yang dikenal dengan keindahan alamnya, ternyata bisa dinikmati lebih dari sekedar visual saja, tapi sadarkah kita keindahan alam, seperti gunung, bukit, air terjun, lereng dapat menjadi komponen energi Pembangkit Listrik Tenaga Air yang bersifat saling koheren. Korelasi antara bentuk permukaan bumi dan ketersediaan energi seringkali bekerja secara sinergi. Keduanya berkolaborasi membentuk suatu energi yang dapat dimanfaatkan bagi kemaslahatan hidup orang banyak. Tidak terkecuali listrik.

Nah pada minggu yang lalu, bertepatan dengan  mata kuliah BTA atau Bangunan Tenaga Air, salah satu dosen kami membahas tentang Pembangkit Listrik Tenaga Air termasuk didalamnya Pembangkit Listrik Mikro Hidro. Pembahasan ini cukup menarik pehatian saya, sehingga membuat saya ingin mencari tahu tentang seluk beluk pembangkit listrik bertenaga air.

Pada dasarnya saya sangat suka menulis, namun memang saya harus membaca referensi terlebih dahulu kemudian menarik kesimpulan dari beragam macam referensi untuk kemudian menjadi sebuah narasi. Awalnya saya hanya mengenal Pembangkit Listrik Tenaga Air, namun sekarang banyak sekali penamaan terbaru terkait pembangkit listrik jenis ini. PLTA yang kita kenal dulu kini telah berkembang menjadi PLTMH Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro). Pengembangan ini didasari oleh sekelompok insinyur yang prihatin dengan masyarakat di negara miskin yang belum memperoleh layanan listrik, padahal di sekitar mereka tersedia sumber energi potensial air yang berlimpah.
Para insinyur yang peduli terhadap masalah ini umumnya bergabung dalam sebuah lembaga non-pemerintah (NGO) yang bertujuan memberikan bantuan teknis. Salah satu pendekatan teknis yang dilakukan adalah penggunaan sistem run-off river yang tidak membutuhkan dam tinggi. Dengan demikian persyaratan teknis yang harus dipenuhi tidak akan setinggi dan serinci pada persyaratan PLTA dengan bendungan besar. Namun PLTMH ini sendiri masih mengasumsi prinsip kerja PLTA dimana mula-mula potensi tenaga air dikonversikan menjadi tenaga mekanik dalam turbin air. Kemudian turbin air tersebut memutar generator yang membangkitkan listrik. Turbin air sebagai alat pengubah energi potensial air menjadi energi torsi atau putar dapat dimanfaatkan sebagai penggerak generator, pompa dan peralatan lain.  
Sistem run-off river hanya membutuhkan weir untuk mengalihkan air sungai, sebagai penyadap menuju saluran pembawa. Dengan demikian tidak dibutuhkan survey geologi yang mendalam seperti survey geolistrik dengan biaya mahal. Demikian juga kontruksi weir dengan ketinggian kurang dari 2 meter tidak membutuhkan desainer dam khusus dan pekerjaan konstruksi dam dapat dilakukan oleh tukang bangunan setempat. Dengan kapasitas pembangkit yang kecil, maka persyaratan mekanik turbin, instalasi listrik, kontroler, dan aspek teknik lainnya akan lebih sederhana dan tidak perlu setinggi persyaratan pada PLTA skala besar.
Dalam perjalanan sejarahnya, PLTMH memperoleh popularitas sebagai sistem pembangkitan listrik tenaga air yang tepat guna (appropriate technology) dan ramah lingkungan. Banyak kelompok yang menentang pembangunan PLTA, dan mereka lebih menganjurkan menggunakan PLTMH. Dukungan mereka terhadap PLTMH dengan alasan PLTMH tidak menggunakan dam tinggi sehingga resiko bencana lebih kecil, tidak membutuhkan genangan yang luas sehingga tidak menimbulkan dampak lingkungan yag merugikan, dapat dioperasikan dan dipelihara lebih mudah sehingga masyarakat lokal dapat membangun, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya air untuk kesejahteraan penduduk setempat. Jadi mengapa harus PLTMH, jawabannya adalah:
1.      Energi yang tersedia tidak akan habis selagi siklus dapat kita jaga dengan baik, seperti daerah tangkapan atau catchment area, vegetasi sungai dan sebagainya.
2.       Proses yang dilakukan mudah dan murah, harga turbin, generator, panel kontrol, hingga  pembangunan sipilnya kira-kira Rp 5 juta per KW (kondisional).
3.       Tidak menimbulkan polutan yang berbahaya.
4.       Dapat diproduksi di Indonesia, sehingga jika terjadi kerusakan tidak akan sulit untuk mendapatkan sparepart-nya.
5.      Mengurangi tingkat konsumsi energi fosil, langkah ini akan berperan dalam mengendalikan laju harga minyak di pasar internasional. 
Atas alasan ini jelas bahwa PLTMH layak untuk dipertimbangkan implementasinya di Indonesia sebagai Pembangkit Listrik yang ramah lingkungan, juga tidak menghabiskan komponen materi melainkan hanya memanfaatkan energinya saja.

Minggu, 19 Februari 2012


Pembangkit Listrik Tenaga Surya, Sumber Energi Alternatif Untuk Meningkatkatkan Rasio Elektrifikasi di Indonesia

Berbicara tentang penyaluran listrik, Indonesia memang belum memenuhi tingkat rasio elektrifikasi nasional. Saat ini masyarakat Indonesia mempercayakan pemenuhan listrik ke seluruh wilayah kepada PLN  (Pembangkit Listrik Negara) yang sangat bergantung kepada Bahan Bakar Minyak. Indonesia memang dikenal dengan sumber daya alam yang melimpah. Namun terkadang itu tidak bisa menjadi garansi bahwa sumber daya alam itu dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat seperti listrik dalam jangka waktu lama.
Saat ini memang kita mempercayakan penyaluran listrik kepada PLN. Sejauh ini memang pemadaman kerap kali dapat dihindari oleh PLN yang merupakan salah satu  (Badan Usaha Milik Negara BUMN). Tapi mungkin kita tidak patut berbangga, karena tarif dasar listrik yang menjadi tagihan tiap bulannya bukanlah tarif sesungguhnya, melainkan tarif subsidi yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini diupayakan agar mengurangi beban masyarakat dalam tagihan tarif dasar listrik. Pada dasarnya subsisidi listrik di Indonesia telah menyalahi prosedur yang berlaku. Penyimpangan subsidi listrik ini ditandai dengan pemerataan tarif dasar listrik bersubsidi bagi seluruh masyarakat baik untuk masyarakat menengah ke atas dan masyarakat menengah ke bawah.
Sulit untuk dibayangkan bahwa rumah perkotaan dengan permintaan listrik yang besar, ditandai dengan pemakaian 100-1.000 Kwh masih menikmati tarif dasar listrik yang bersubsidi dari pemerintah. Hal ini jelas tidak dapat ditolerir, mereka dengan penggunaan besar tapi mereka pula yang mendapat potongan tarif yang besar. Seharusnya tarif dasar listrik bersubsidi layak ditujukan kepada masyarakat dengan pemakaian 60 Kwh. Nah, apa resolusi kita sebagai mahasiswa yang sudah seharusnya mencari alternatif lain penyaluran listrik selain PLN.
Terlintas dalam pikiranku tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Ya, Indonesia adalah negara yang berlimpah dengan pancaran sinar matahari. Pembangkit Listrik Tenaga Surya adalah sistem penyaluran listrik yang menggunakan cahaya matahari sebagai energi untuk kemudian diubah menjadi energi listrik dengan panel surya atau solar cell. Kedengarannya memang pembangkit listrik ini sangat sederhana. Dibandingkan PLN yang terus mengandalkan pada BBM dan Batu Bara yang disinyalir akan habis apabila pemakaian yang tidak terkendali. Belum lagi BBM merupakan indikator penting dalam mobilisasi transportasi. Maka PLTS bisa menjadi alternatif yang perlu dipertimbangkan.
Belakangan ini kemajuan teknologi selalu dikaitkan langsung terhadap alam. Sebisa mungkin kita harus tetap menjaga dan melestarikan alam. Penggunaan Bahan Bakar Minyak dan Batu Bara belakangan ini dianggap berdampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari kesalahan prosedur dari pengoperasian  dan juga limbah pembuangan yang dihasilkan. Pembangkit Listrik Tenaga Surya ini sangat ramah terhadap lingkungan, tidak menimbulkan polusi sehingga kita secara tidak langsung mengurangi pemanasan global. Mengapa demikian?, karena mayoritas listrik yang digunakan di Indonesia berasal dari pembangkit listrik dengan bahan baku BBM dan batubara. Masalahnya, dari proses ini dikeluarkan banyak emisi karbon yang merupakan sumber terbesar penyebab terjadinya pemanasan global (global warming).
Beberapa komponen yang diperlukan dalam Pembangkit Listrik Tenaga Surya diantaranya adalah: panel surya / solar celll, charge controller, baterai, inverter. Solar panel mengkonversikan tenaga matahari menjadi listrik. Sel silikon (disebut juga solar cells) yang disinari matahari/ surya, membuat photon yang menghasilkan arus listrik. Sebuah solar cell menghasilkan kurang lebih tegangan 0.5 Volt. Jadi sebuah panel surya 12 Volt terdiri dari kurang lebih 36 sel (untuk menghasilkan 17 Volt tegangan maksimun). Charge controller, digunakan untuk mengatur pengaturan pengisian baterai. Inverter, adalah perangkat elektrik yang mengkonversikan tegangan searah (DC - direct current) menjadi tegangan bolak balik (AC - alternating current). Baterai, adalah perangkat kimia untuk menyimpan tenaga listrik dari tenaga surya. Tanpa baterai, energi surya hanya dapat digunakan pada saat ada sinar matahari.
             Panel surya / solar cell,  sebagai komponen penting Pembangkit Listrik Tenaga Surya, mendapatkan tenaga listrik pada pagi sampai sore hari sepanjang ada sinar matahari. Umumnya kita menghitung maksimun sinar matahari yang diubah menjadi tenaga listrik sepanjang hari adalah 5 jam. Tenaga listrik pada pagi - sore disimpan dalam baterai, sehingga listrik dapat digunakan pada malam hari, dimana tanpa sinar matahari.
Karena  Pembangkit Listrik Tenaga Surya sangat tergantung kepada sinar matahari, maka perencanaan yang baik sangat diperlukan. Perencanaan terdiri dari:
  • Jumlah daya yang dibutuhkan dalam pemakaian sehari-hari (watt).
  • Berapa besar arus yang dihasilkan  panel surya / solar cell  (dalam ampere hour), dalam hal ini memperhitungkan berapa jumlah panel surya / solar cell yang harus dipasang.
  • Berapa unit baterai yang diperlukan untuk kapasitas yang diinginkan dan pertimbangan penggunaan tanpa sinar matahari (ampere hour).
Kalau begitu mengapa Indonesia belum menerapkan sistem  Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Sebenarnya ada, namun jarang ditemukan. Umumnya masyarakat menganggap PLTS membutuhkan biaya investasi awal yang besar. Padahal kalau dilihat dari keberlangsungannya maka dapat digolongkan cukup lama, dimana Pembangkit Listrik Tenaga Surya dengan  panel surya / solar cell  memiliki daya tahan 20 - 25 tahun. Baterai dan beberapa komponen lainnya dengan daya tahan 3 - 5 tahun. Dari sudut pandang biaya pengoperasian perjam, maka apabila kita kalkulasikan antara biaya investasi dan biaya perawatan terhadap jangka waktu pemakaian. Maka tarif yang kita keluarkan selama pemakaian cukup rendah, ditambah lagi kita bisa langsung berkontribusi terhadap lingkungan. Pemakaian PLTS juga dapat menghindari pemadaman secara mendadak. Sejauh ini para peneliti terus mengembangkan panel surya, sehingga biaya investasinya tidak lagi mahal. 
Jadi atas pertimbangan kelebihan-kelebihan tersebut, maka tidak ada salahnya kalau kita beralih ke Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Dibandingkan dengan wacana penambahan subsidi listrik oleh pemerintah dari asumsi APBN senilai puluhan triliun rupiah, dianggap tidak tepat. Akan lebih baik, jika subsidi itu digunakan untuk menambah infrastruktur listrik di pelosok-pelosok pedesaan yang belum tersentuh listrik. Sekarang ini, rasio elektrifikasi nasional baru mencapai 65%. Artinya masih ada 35% masyarakat di Indonesia yang belum mendapat aliran listrik. Pemakaian PLN dan PLTS yang dijalankan secara simultan juga bisa menjadi solusi apabila kita belum terlalu yakin apakah PLTS sendiri dapat mengcover kebutuhan listrik kita perhari.